Partai Gerindra kembali menjadi sorotan publik setelah muncul kabar bahwa partai ini menerima dana sebesar Rp20 miliar. Dana tersebut dikaitkan dengan dukungan Gerindra terhadap wacana penyusunan Omnibus Law yang akan mengatur pendirian badan usaha milik partai politik (parpol). Kabar ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar: adakah hubungan antara dana tersebut dan langkah legislatif yang diambil?
Publik menaruh perhatian serius karena regulasi semacam ini bisa berdampak luas terhadap transparansi dan akuntabilitas partai politik di Indonesia.
Dorongan Omnibus Law: Langkah Strategis atau Manuver Politik?
Gerindra secara terbuka mendorong agar Omnibus Law yang sedang dirancang mencakup ketentuan khusus mengenai pendirian badan usaha oleh parpol. Menurut mereka, langkah ini bertujuan menciptakan kemandirian finansial bagi partai, sehingga tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bantuan negara ataupun sumbangan pribadi.
Namun demikian, di balik narasi kemandirian tersebut, banyak pihak menilai bahwa regulasi ini berpotensi membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan memperbesar konflik kepentingan.
Kritik dan Respons Publik: Transparansi Jadi Tuntutan
Sejumlah pengamat dan aktivis antikorupsi menyampaikan kritik keras terhadap wacana ini. Mereka menilai pendanaan partai seharusnya diawasi ketat, bukan justru dilegalkan melalui badan usaha yang bisa menimbulkan tumpang tindih antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik.
Lebih lanjut, mereka mempertanyakan urgensi Omnibus Law ini. Apakah benar untuk mendukung reformasi politik? Atau justru menjadi alat legalisasi kepentingan elite partai?
Di media sosial, respons publik pun beragam. Banyak warga menyuarakan kekhawatiran bahwa langkah ini bisa menjauhkan parpol dari akuntabilitas publik.
Potensi Masalah Hukum dan Etika
Jika badan usaha milik parpol diatur tanpa mekanisme kontrol yang ketat, maka risiko korupsi dan kolusi bisa meningkat. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa dana dari badan usaha tersebut akan digunakan untuk pembiayaan kampanye tanpa pelaporan yang transparan.
Praktik semacam ini bisa mencederai prinsip demokrasi dan memperburuk citra partai di mata masyarakat. Oleh karena itu, jika regulasi ini tetap digulirkan, perlu disertai aturan main yang jelas, termasuk pengawasan dari lembaga independen.
Kesimpulan: Perlu Keterbukaan, Bukan Sekadar Alasan
Gerindra boleh saja berdalih bahwa Omnibus Law ini demi kemandirian parpol. Namun, publik berhak menuntut transparansi dan kejelasan alur dana. Apalagi jika dorongan terhadap regulasi tersebut terjadi setelah penerimaan dana besar, wajar jika muncul kecurigaan.